AGAMA
DAN MASYARAKAT
Agama berasal dari bahasa sanskerta yang berarti
“tidak kacau”. Agama dapat diartikan suatu pengaturan yang bertujuan untuk
mencapai kehidupan manusia ke arah dan tujuan tertentu. Agama adalah suatu system yang mengatur tata
keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang Mahakuasa serta tata
kaidah yang
berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia serta lingkungannya.
Berdasarkan sumbernya, agama dapat dibagia atas agama samawi yaitu agama diperoleh melalui Wahyu Illahi (Islam, Kristen,
Yahudi) dan Agama Wa'i atau disebut juga agama bumi, yaitu agama budaya yang
timbul akibat kekuatan didalam pikiran atau akal budi seseorang atau masyarakat
(Hindu, Buddha, Konghuchu, dan aliran agama atau kepercayaan lainya).
Dalam kehidupan bermasyarakat agama
berfungsi sebagai pengatur kehidupan dan mengatasi persoalan-persoalan
bermasyarakat agar tidak terjadi kekacauan dan perpecahan, karena agama
mengatur hubungan antara manusia dengan penciptanya sekaligus hubungan manusia
dengan manusia lainnya, mahluk lainnya dan lingkungannya. Agama mengajarkan apa
yang baik dan apa yang buruk untuk kehidupan individu maupun kehidupan
bermasyarakat. Di
setiap ajaran agama diajarkan bahwa manusia selalu menjaga keharmonisan antara
makluk hidup dengan lingkungan sekitar supaya manusia dapat melanjutkan
kehidupannya.
Secara garis besar agama memiliki fungsi edukatif (memberikan bimbingan dan pengajaaran
dengan perantara petugas-petugasnya), fungsi penyelamatan (di dunia dan
akhirat), fungsi pengawasan sosial (meneguhkan dan mengamankan kaidah-kaidah
susila yang baik bagi kehidupan moral warga masyarakat), fungsi memupuk persaudaraan
dan fungsi transformative (mengubah bentuk kehidupan baru atau mengganti
nilai-nilai lama dengan menanamkan nilai-nilai baru yang lebih bermanfaat)
Dimensi agama, Roland
Robertson (1984) mengklasifikasikan dimensi agama atas keyakinan, praktek, pengalaman, pengetahuan
dan konsekuensi. Dimensi keyakinan mengandung perkiraan atau harapan bahwa
orang yang religius akan menganut pandangan teologis tertentu, bahwa ia akan
mengikuti kebenaran ajaran-ajaran agama. Praktek agama mencakup
perbuatan-perbuatan memuja dan berbakti yaitu perbuatan untuk melaksanakan
komitmen agama secara nyata. Dimensi pengalaman memperhitungkan
fakta, bahwa semua agama mempunyai perkiraan tertentu, yaitu orang yang
benar-benar religius pada suatu waktu akan mencapai pengetahuan yang langsung
dan subjektif realitas tertinggi, mampu berhubungan meskipun singkat dengan
suatu perantara yang supernatural. Dimensi pengetahuan dikaitkan dengan
perkiraan, bahwa orang-orang yang bersikap religius akan memiliki informasi
tentang ajaran-ajaran pokok keyakinan dan upacara keagamaan, kitab suci, dan
tradisi-tradisi keagamaan mereka. Dimensi konsekuensi dari komitmen religius
berbeda dengan tingkah laku perseorangan dan pembentukan citra pribadinya.
Menurut Elizabeth K.
Nottingham, 1954, terdapat tiga tipe kaitan agama dengan masyarakat yaitu: 1)masyarakat
yang terbelakang dan nilai- nilai sakral. Pada masyarakat ini agama memasukkan
pengaruhnya yang sakral ke dalam sistem masyarakat secara mutlak dan nilai agama sering meningkatkan konservatisme
dan menghalangi perubahan dalam masyarakat dan agama menjadi fokus utama
pengintegrasian dan persatuan masyarakat secara keseluruhan 2)masyarakat-masyarakat
pra-industri yang sedang berkembang. Pada masyarakat ini, agama memberikan arti
dan ikatan kepada sistem nilai. Agama tidak memberikan dukungan sempurna terhadap
aktivitas sehari-hari, agama hanya memberikan dukungan terhadap adat-istiadat.
3)masyarakat-masyarakat industri sekular. Pada masyarakat ini, perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi mempunyai konsekuensi penting bagi agama, salah
satu akibatnya adalah anggota masyarakat semakin terbiasa menggunakan metode
empiris berdasarkan penalaran dan efisiensi dalam menanggapi masalah
kemanusiaan sehingga tidak terlalu memberikan tanggapan langsung terhadap
agama.
Agama begitu universal, permanan
(langgeng), dan mengatur dalam kehidupan sehingga bila
tidak memahami agama, akan sukar memahami masyarakat. Untuk itu diperlukan pelembagaan
agama adalah suatu tempat atau lembaga untuk membimbing, membina dan mengayomi
suatu kaum yang menganut agama. Hal yang perlu dijawab dalam memahami lembaga
agama adalah apa dan mengapa agama ada unsur-unsur dan bentuknya serta fungsi dan
struktur agama. Contohnya adalah MUI, NU, Muhammadiyah (Islam) PGI dan KWI
(kriten), Persada (Hindu), MBI (budha) dan Matakin (Konghucu)
Dalam kehidupan beragama kadang terjadi
konflik, baik konflik internal umat beragama seperti ajaranyang menyimpang
maupun konflik antar umat beragaman. Konflik internal disebabkan oleh adanya
pemahaman yang menyimpang dan atau radikal dari suatu agama atau sebaliknya
pemahaman yang terlalu liberal bebas semaunya tanpa mengikuti kaedah yang ada.
Sedangkan konflik antar umat beragama umumnya tidak murni disebabkan oleh
faktor agama melainkan faktor ekonomi, politik dan sosial yang kemudian diagamakan.
Beberapa penyebabnya seperti: Adanya paham radikal disebagian kecil kelompok
agama, kurang efektifnya pelaksanaan regulasi baik karena status hukumnya yang
masih dipersoalkan, kurangnya pemahaman sebagai aparatur negara atau
kurangnyakesadaran sebagai tokoh dan umat beragama, persoalan pendirian rumah
ibadah atau cara penyiaran/penyebaran agama yang tidak sesuai dengan ketentuan
yang berlaku, penistaan terhadap agama dan adanya salah paham atas informasi
diantara pemeluk agama.
Konflik keagamaan memiliki bebeberapa unsur,
yaitu adanya dua belah pihak baik satu agama atau beberapa agama yang terlibat
konflik (partisan), adanya tujuan tertentu yang menjadikan munculnya konflik, adanya
perbedaan pemikiran, perasaan dan tindakan di antara pihak yang terlibat untuk
mendapatkan hasil atau tujuan dari konflik, adanya kepentingan di antara dua
belah pihak yang saling bertentangan baik itu pribadi maupun kelompok, Sebagai
contoh:
1. konflik
antara Yahudi dan Nasrani, bersumber dari kitab suci namun justru unsur dogmatis agama
ini sangat mendukung pengambaran konflik yang terjadi. Menurut versi Yahudi,
Nasrani adalah agama yang sesat karena menganggap Yesus sebagai mesias (juru
selamat). Dalam pandangan Yahudi sendiri Yesus adalah penista agama yang paling
berbahaya karena menganggap dirinya adalah anak Allah, sampai akhirnya otoritas
Yahudi sendiri menghukum mati Yesus dengan cara disalibkan, sebuah jenis
hukuman bagi penjahat kelas kakap pada waktu itu. Sedangkan menurut pandangan
Kristen, umat Yahudi adalah umat pilihan Allah yang justru menghianati Allah
itu sendiri. Untuk itu Yesus datang ke dunia demi menyelamatkan umat tersebut
dari murka Allah. Dalam beberapa kesempatan, misalnya, ketika Yesus mengamuk di
bait Allah karena dipakai sebagai tempat berjualan, atau dalam kasus lain yaitu
penolakan orang Israel terhadap ajaran Yesus.
2. konflik
Islam-Kristen. Konflik ini pada awalnya diilhami oleh kepercayaan bahwa Islam
memandang Nasrani sebagai agama kafir karena mempercayai Yesus sebagai anak
Allah, padahal dalam ajaran Islam Nabi Isa (Yesus) merupakan nabi biasa yang
pamornya kalah dari nabi utama mereka Muhammad S.A.W. Konflik ini pada awalnya
hanya pada tataran kepercayaan saja, namun ketika unsur politis, ekonomi, dan
budaya masuk, maka konflik yang bermuara pada pecahnya Perang Salib selama
beberapa abad menegaskan rivalitas Islam-Kristen sampai sekarang.
3. konflik
antara Yahudi-Islam yang masih hangat dalam ingatan kita. Konflik ini berawal
dari kepercayaan orang Yahudi akan tanah yang dijanjikan Allah kepada mereka
yang dipercayai terletak di daerah Israel, termasuk Yerusalem, sekarang. Pasca
perbudakan Mesir, ketika orang Yahudi melakukan eksodus ke Mesir namun kemudian
malah diperbudak sampai akhirnya diselamatkan oleh Musa, orang Yahudi kemudian
kembali ke tanah mereka yang lama, yaitu Israel. Akan tetapi, pada saat itu
orang Arab telah bermukim di daerah itu. Didasarkan atas kepercayaan itu,
kemudian orang Yahudi mulai mengusir Orang Arab yang beragama Islam itu.
Konflik keagamaan dicegah dengan memantapkan
kerukunan hidup umat beragama. Departemen Agama mengambil kebijakan pemantapan
kerukunan umat beragama melalui upaya sebagai berikut:
1. Para
pembina formal termasuk apatur pemerintah dan para Pembina non formal yakni
tokoh agama dan tokoh masyarakat merupakan komponen penting dalam pembinaan
kerukunan antar umat beragama.
2.
Masyarakat umat beragama di Indonesia yang sangat heterogen perlu ditingkatkan
sikap mental dan pemahaman terhadap ajaran agama serta tingkat kedewasaan
berfikir agar tidak menjurus kesikap primordial.
3. Peraturan
pelaksanaan yang mengatur kerukunan hidup umat beragama perlu dijabarkan dan
disosialisasikan agar bisa dimengerti oleh seluruh lapisan masyarakat, dengan
demikian diharapkan tidak terjadi kesalah pahaman dalam penerapan baik oleh
aparat maupun oleh masyarakat, akibat adanya kurang informasi atau saling
pengertian diantara umat beragama.
4. Perlu
adanya pemantapan fungsi terhadap wadah-wadah musyawarah antar umat beragama
untuk menjembatani kerukunan antar umat beragama.
Diharapkan dengan upaya-upaya tersebut
kerukunan umat beragama menjadi mantap sehingga konflik keagamaan dapat dicegah
di tanah air tercinta ini.
-----------TERIMA
KASIH----------
MAHENDRA
15113228
Tidak ada komentar:
Posting Komentar